Jumat, 03 Juli 2009

IBU KARTINI...



Kini Ibu kita Kartini mulai tersenyum bangga, bunga-bunga bangsa banyak bermekaran di negeri ini untuk mendobrak tradisi dan turut dalam demokrasi, salah satunya adalah Hj Airin Rachmi Diany, dari fikiran dan hatinya yang selalu terisi oleh hal-hal yang baik, beliau melihat berbagai contoh, beliau menyimak dan mempelajari berbagai kejadian, kemudian memiliki cita-cita dan secara konsekuen berupaya menggapai keinginannya untuk mengabdi kepada masyarakat dengan sepenuh hati.

Mantan Putri Pariwisata dan Putri Favorit pada ajang Puteri Indonesia tahun 1996 ini terbukti mampu beradaptasi secara langsung dan menyerap tradisi serta wawasan Banten yang khas terutama setelah istri H. Tb. Chaeri Wardana, B. Bus, tokoh muda Banten dan pengusaha yang sukses. Ibu Airin adalah aktivis perempuan yang aktivitas hari-harinya amat padat.

Selain menjadi Pembina berbagai majelis taklim di Tangerang, ia juga aktif sebagai pengurus Palang Merah Indonesia Provinsi Banten dan aktif di berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Pergerakannya yang lembut namun menyakinkan terbukti ampuh saat ia diserahi tanggung jawab sebagai pengendali organisasi Relawan Banten Bersatu Kabupaten Tangerang untuk memenangkang Ibu Hj. Atut Chosiyah sebagai Gubernur Banten. Ibu Airin adalah sosok perempuan modern yang mengerti betul bahwa emansipasi dan kesetaraan bukan sesuatu yang bermasalah. Dalam proporsinya yang seimbang, perempuan tentu tidak terhalang haknya guna tampil ke muka memimpin.

SeRimonial.....



Tangsel Pantas Jadi Ikon Pendidikan di Banten

PAMULANG- Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dinilai pantas menjadi ikon pendidikan di Provinsi Banten. Pasalnya, berbagai potensi yang ada di kota ini sangat mendukung, baik dari segi sarana, tenaga pendidik, dan lainnya. Demikian dikatakan Abdul Aziz Husain, dosen Universitas Brawijaya Malang ketika memberikan materi Semiloka Pendidikan di Universitas Terbuka Pondok Cabe, Selasa (10/2).

Azis memaparkan, Kota Tangsel yang baru disahkan 29 Oktober 2008 ini mempunyai banyak perguruan tinggi, seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Universitas Terbuka di Pamulang, ITI.Selain perguruan tinggi, di Kota tangsel terdapat sekolah-sekolah negeri, swasta yang bertaraf internasional. Ia menjelaskan, untuk mewujudkan kota pendidikan itu semua, ada enam komponen yang dimiliki kota ini seperti sarana gedung atau kelas yang ideal seperti setiap kelas 20-25 orang, sarana buku pendidikan.

“SMA sudah mempunyai 50 persen dan di SMK sudah mempunyai 33 persen bengkel yang lengkap,” kata Pengurus Besar PGRI pusat. Dan untuk menunjang itu, sambung Azis, para tenaga pengajar juga harus berkualitas.

Artinya, pendidikan pengajar minimal strata satu (S1) atau Diploma empat (D4) dan bersertifikasi pendidikan. Di tempat yang sama, Pembina Pendidikan Provinsi Banten Airin Rachmi Diany mengatakan, dirinya berkeyakinan Kota Tangsel akan menjadi kota pendidikan karena mempunyai potensi yang sangat mendukung untuk itu semua. (cr-4)
(Radar banten, 11 Februari 2009)

Senin, 29 Juni 2009

gathering.......



TIPS ANAK SEKOLAH...


Anak anda mau masuk sekolah; SD, SMP, SMA atau SMK. Bingung pilih sekolah buat dia … ada keterbatasan dana, kemampuan jarak atau lainnya. Tips berikut ini mungkin bisa jadi pertimbangan Anda dalam memilih sekolah buat buah hati.

1. Luangkan waktu Anda. Jika ingin anak Anda lebih baik di masa depan, jangan wakilkan urusan ini pada fihak lain … luangkan waktu Anda, betapapun sibuknya Anda … ini bukan kerjaan rutin, hanya tiga atau enam tahun sekali.

2. Temui Guru atau Wali Kelas. Mereka mengetahui kondisi anak kita dan kondisi Sekolah di sekitar Sekolah anak kita saat ini … bertanyalah berbagai hal yang ingin Anda ketahui dan khawatirkan … mintalah waktu lebih untuk komunikasi lebih banyak tentang pemilihan sekolah anak kita.

3. Browsing di internet. Biasanya sekolah-sekolah yang baik memiliki banyak informasi di dunia maya … jangan terlalu percaya dulu pada yang anda dapat di Website, jadikan itu sebagai pertimbangan untuk melihat langsung sekolah yang dituju.

4. Kunjungi Sekolah yang dituju bersama anak Anda. Dari hasil bincang dengan guru atau wali kelas dan browsing di internet anda akan memperoleh beberapa alternatif, kunjungi sekolah yang dituju … sebaiknya tak hanya sekali dan jangan pada hari libur. Suasana sekolah biasanya akan tertangkap roh kegembiraan atau roh yang tak menyenangkan saat melihat aktifitas sekolah yang sesungguhnya. Jika Anda bekerja, mungkin bisa luangkan waktu istirahat makan siang Anda untuk visit sekolah untuk buah hati … labih baik jika anak Anda di ajak berkunjung … karena dia akan jalani masa bertahun-tahun di tempat yang dipilihnya.

Saat berkunjung, bicaralah dengan guru-guru di dekolah itu, murid-murid disana, satpam, pedagang di kantin, dll. Anda akan mendapat gambaran lebih komprehensif tentang kondisi calon sekolah anak Anda.

5. Putuskan bersama anak Anda. Saat memutuskan beberapa sekolah mana yang dipilih sesuai dengan skala prioritas dari yang paling bagus, menurun hingga sekolah yang lebih rendah kualitasnya, Anda harus libatkan anak Anda.

6. Siapkan pilihan alternatif. Jika pilihan pada langkah 5 tidak bisa dipenuhi atau gagal, siapkan sejak awal alternatif sekolah pilihan yang masih bisa dicapai. Daftar di sekolah itu sebagai cadangan … karena biasanya sekolah yang baik menerima pendaftaran lebih awal, memang ada konsekwensi hilangnya sejumlah biaya yang Anda keluarkan … tapi tak apalah, demi buah hati tercinta.

7. Jaga kesehatan dan berdoa. Urusan di atas memakan waktu dan energi yang tak sedikit, oleh sebab itu jaga kesehatan dan berdoalah, kerjasama yang baik antar suami, istri dan anggota keluarga lainnya akan hasilkan yang terbaik … selamat berjuang raih masa depan lebih baik.

Jumat, 19 Juni 2009

Minggu, 22 Maret 2009

Wajah Pemerataan Pendidikan kita




Oleh Agus Suwignyo

Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).

Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.

Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?

Miskonsepsi

Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.

Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.

Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).

Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.

Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.

Pemerintah daerah

Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.

UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.

Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.

Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.

Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.

Menyesatkan publik

Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.

Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.

Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM

(Dimuat Kompas, 2 Maret 2009)